Indonesia Ladang Perang Opini Publik
Walter Lippmann pada tahun 1922 menulis, ”Decision in modern states tend to be made by the interaction, not of congress and the executive, but of public opinion and the executive.” Ketika itu Lippman menyatakan bahwa opini publik akan sangat berperan dalam negara demokrasi. Tapi bagaimana proses opini publik yang diyakini Lippmann dapat menjadi penting dalam sebuah demokrasi, hal itu kemudian yang menjadi pertanyaan penting lainnya.
Perjalanan panjang sejarah kemudian ternyata membuktikan apa yang ditulis Lippman. Opini publik kini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan berdemokrasi. Bahkan, opini publik telah disejajarkan menjadi pilar kelima(Fifth Estate) dalam sebuah negara. Sebagai contoh Amerika, sebuah negara yang katanya paling demokratis pun ”menghalalkan” opini publik untuk mengambil suatu keputusan.
Setelah peristiwa black September yang merontokkan dua menara kembar World Trade Center (WTC), pemerintahan Presiden Bush memang gusar. Setelah menunjuk hidung Osama bin Laden sebagai dalang teroris yang melakukan penyerangan, Amerika menyatakan sikap untuk memerangi terorisme.
Berbagai strategi militer disusun untuk melakukan agresi ke Afghanistan, negara di bawah rezim Taliban yang menolak menyerahkan Osama. Tapi penyerangan tak bisa dilakukan, karena pemerintahan Bush belum mendapat restu dari Kongres Amerika.
Di sana, pemerintahan Bush mulai menyadari, penyerangan ke Afghanistan tidak akan dapat dilakukan. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan meminta restu publik melalui opini publik.
Akhirnya, ketika pemerintahan Bush mengambil keputusan untuk melakukan penyerangan militer ke Afghanistan, semuanya didasari bahwa 90 persen rakyat Amerika menginginkan penyerangan tersebut. Pemerintahan Bush dengan hasil jajak pendapat itu membenarkan bahwa tindakan mereka menyerang Afghanistan sudah tepat.
Di Indonesia hal yang sama juga terjadi. Lihatlah ketika Abdurrahman Wahid, yang kala itu menjadi Presiden RI ”dihabisi” beramai-ramai oleh politisi di MPR. Semua itu disebabkan opini publik yang telah terbentuk bahwa Wahid terlibat dalam skandal dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 miliar dan dana Sultan Brunei Darussalam sebesar US$ 2 juta. Padahal, hingga kini masalah tersebut tidak juga menunjukkan titik terang. Tak ada kelanjutan proses penyidikan terhadap kasus ini yang membuktikan bahwa Wahid bersalah.
Lalu kasus yang lainnya ketika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kembali (PK) Tommy Soeharto. Majelis hakim yang diketuai M Taufiq dalam keputusannya mengabulkan sekaligus membebaskan Tommy dalam kasus tukar guling (ruilslag) PT Goro Batara Sakti dan Bulog.
Keputusan itu banyak menuai reaksi yang tidak proporsional. Mahkamah Agung ditekan dan dianggap tidak mengindahkan rasa keadilan masyarakat. Ketika itu aspek hukum tidak lagi dapat dipandang jernih ketimbang opini publik yang telah terbentuk. Persoalannya, Tommy sudah dianggap penjahat kelas kakap dan buronan nomor satu di negara ini.
Keputusan Mahkamah Agung itu dituding berkaitan dengan banyak hal. Maka muncul berbagai dugaan bahwa majelis hakim telah terkena suap hingga ancaman pembunuhan. Akibat keputusan ini juga publik menjadi frustrasi dan kecewa. Kepercayaan terhadap hukum menjadi rendah. Tatanan hukum dianggap sudah kacau.
Lantas, ketika penyelewengan dana non-bujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung terkuak, opini publik kembali menjadi kerangka berpikir kolektif. Masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh opini publik yang mengatakan bahwa Akbar bersalah. Konsekuensinya, Akbar harus dihukum. Dan begitulah, kepuasan masyarakat tuntas ketika Kejaksaan Agung menyatakan status Akbar sebagai tersangka. Walaupun tak jelas, apakah ”naik kelasnya” status Akbar dari saksi menjadi tersangka akibat opini publik.
Opini dan Agenda Media
Berkembangnya opini publik dalam sebuah tatanan masyarakat tidak terlepas dari peran media massa. Harus disadari media massa sebagai salah satu pilar (estate) negara juga mempunyai agenda untuk menciptakan opini publik. Agenda yang lazim disebut agenda media ini harus dilihat sebagai sebab, mengapa sebuah kasus di-blow up di media massa.
Banyak media berpendapat, pemberitaan kepada khalayak itu didasari oleh ”hak untuk tahu” bagi masyarakat.
Seiring dengan kebebasan pers yang kini sudah dirasakan media massa Indonesia, kita cuma berharap bahwa media massa dapat berlaku profesional. Artinya, berbagai pemberitaan tersebut harus benar-benar dilandasi agenda media untuk melayani ”hak untuk tahu” masyarakat.
Mencermati agenda media di Indonesia, kita harus melihat media sebagai kekuatan yang tidak mungkin berpihak pada siapa pun. Hal ini seharusnya membuat media bebas dari nilai (neutral value). Walaupun adalah suatu kenyataan bahwa sistem bebas nilai (neutral value) itu akan selalu bersinggungan dengan permainan politik, bahkan di negara dan masyarakat paling demokratis sekalipun.
Berbicara mengenai agenda media dan opini publik, kita dapat melihat dengan pendekatan model agenda setting.
Model ini mengasumsikan adanya hubungan yang positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak terhadap suatu persoalan. Atau, singkatnya apa yang dirasakan penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat.
Model agenda setting ini oleh Cohen (1963) dikatakan, ”the press is significantly more than a surveyor of informatian and opinion. It may not be succesfull much of the time in telling the people what think, but it is stunningly succesfull in telling readers what to think about”.
Selanjutnya, Rogers dan Dearing dalam Littlejohn (1999) menambahkan dalam sebuah proses model agenda setting ada tiga fungsi yang saling terkait. Pertama, prioritas bahwa sebuah isu harus diatur menjadi pembahasan di media atau agenda media.
Kedua, agenda media ini harus menjadikan pengaruh rasa tertarik bagi publik untuk memikirkannya, atau disebut agenda publik (opini publik). Ketiga, agenda publik akan menimbulkan pengaruh bagi pembuat keputusan yang dijadikan pertimbangan, atau disebut agenda kebijakan.
Model agenda setting yang menggambarkan hubungan antara agenda media dan opini publik ternyata mempunyai tiga pengaruh. Dalam kajian yang dilakukan Littlejohn (1999) tiga macam pengaruh dari model agenda setting tersebut: Pertama, representation agenda dimana saat publik dipengaruhi agenda media. Kedua, persistance public agenda yang menunjukkan bahwa media telah sedikit mempengaruhi publik dan publik yang juga berusaha mempengaruhi media. Ketiga, persuasion agenda yang menyebutkan media telah sepenuhnya mempengaruhi agenda publik.
Akhirnya, media Indonesia dengan agenda medianya yang kini menjadi ”pengadilan independen” tidak terjebak sebagai wahana fitnah dalam pembentukan opini publik menjadi harapan besar.
Seperti yang dikatakan Pope (1997) bahwa media seharusnya menyeleksi (dengan bijaksana dan paling tidak memperhatikan kepentingan umum) secara tepat informasi apa yang menjadi suara masyarakat. Kemudian, menyampaikan informasi tersebut secara adil, bertanggung jawab, singkat dan mudah di mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar